Rabu, 25 Juli 2012

Ada Apa dibalik Sadranan?


Pada Bulan Syakban, umat Islam banyak yang mengikuti tradisi sadranan. Ngemron menuturkan sadranan berasal dari kata shodrun yang berarti dada. Di dalam dada ada qolbun atau hati.
Oleh karena itu sebelum puasa kita dipersiapkan untuk menjaga hati ini sebaik-baiknya.
Sadranan merupakan sarana untuk mengingat kematian dan menjalin silaturahim. Siapa saja yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya harus memperbanyak silaturahim.


Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait sadranan yaitu
Pertama, tidak meminta kepada orang-orang yang sudah meninggal tapi mengingat akan kematian dan mendoakan arwah leluhur, keluarga, orangtua.
Kedua, makanan yang dibawa orang-orang yang hadir di sadranan bukan bentuk sesajen. Makanan itu merupakan sedekah karena kemudian dimakan bersama-sama. “Sajen itu tidak dimakan. Kalau di sadranan, makanannya dimakan. Ada kebersamaan ketika makan bersama,”


Di dalam masyarakat jawa, menjelang datangnya bulan suci ramadhan tepatnya dibulan Ruwah / Sya’ban ada tradisi yang bernama Sadranan. Menurut sejarah, Sadranan ini telah turun-temurun sejak dulu. Pada saat masyarakat jawa belum beragama Islam, Sadranan ini dilaksanakan sebagai pemujaan pada arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Setiap bulah ruwah masyarakat selalu menyiapkan sesaji (sajen) yang diperuntukkan untuk para arwah-arwah tersebut. Sesaji untuk upacara pada masa lalu berwujud makanan mentah, daging mentah, dupa dan darah. Dengan berbagai sajen yang dipersembahkan kepada arwah tersebut, mereka berharap mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan hidup. Semua makanan tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, batu besar, sungai, pohon besar atau ditempat yang dianggap keramat lainnya.


Era kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah dan dibantu penasihat spiritualnya, yaitu Walisanga merupakan babak baru perubahan yang sangat mendasar atas tradisi sadranan ini. Walisanga tetap mempertahankan tradisi sadranan, tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana untuk mendoakan agar arwah para leluhur tersebut bisa tentram, damai di sisi Allah SWT. Makanan yang semula berupa makanan mentah, daging mentah dan darah diganti dengan makanan dan minuman yang baik, hasil dari pertanian dan peternakan yang dimiliki oleh masyarakat. Tempat Sadranan yang dulu dilakukan di pekuburan dan tempat yang dianggap keramat, dipindah dan dilaksanakan di Masjid-masjid atau rumah sesepuh. Hal ini mirip sebagaimana Rosulullah SAW berdakwah dalam menyikapi tradisi kaum jahiliyyah diantaranya dalam melestarikan tradisi Aqiqoh. Konon sebelum kedatangan Islam, kaum Quraisy jahiliyah ketika ada yang melahirkan, mereka menyembelih kambing. Namun kambing sembelihan itu dipersembahkan untuk berhala dan perut dari si bayi dilumuri dengan darah sembelihan. Ketika Islam datang, Rosulullah tetap melestarikan tradisi penyembelihan kambing ketika ada kelahiran, namun daging kambing itu di sedekahkan.
Rangkaian kegiatan sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara Munjung, yaitu kegiatan saling mengirim makanan kepada para kerabat, tetangga dan orang-orang yang di hormati. Munjung berasal dari kata kunjung yang artinya mendatangi. Munjung biasanya dilakukan oleh anak-anak dimaksudkan agar anak-anak lebih mengenal silsilah keluarga atau kerabat. Setelah Munjung selesai, kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di Masjid yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang yang disepuhkan di desa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar